Saturday night alias malam horror. #eh maaf. Maksud
saya malam minggu. Jangan marah ya wahai para jomblo. Kita masih senasib. Heheheh
Ok, cukup BaPernya.
Malam minggu
kemarin saya akhirnya bisa bertemu dengan teman sekamar saya (dia pria) sewaktu
tiga bulan tinggal di hotel. #eeh 3 bulan bersama pria di hotel? Jangan berprasangka
buruk dulu. Yang belum baca kisahnya silahkan : klik disini .
Bagi yang
tidak berpikiran negative silahkan lanjut membaca. Jika masih ada pikiran yang
aneh-aneh silahkan baca dulu tulisan dalam link
di atas. Teman kamar saya itu bernama Badai
Biru (read: Faqih Bobotoh Sejati). Maklumlah dia sepertinya lebih
tergila-gila dengan PERSIB dibanding Sriwijaya FC. Ya iyah lah, orang dia Pria
Sunda Tulen. Ahhaha #HidupSriwijaya #HidupPERSIB.
Saya
mendapatkan sedikit inspirasi dari kata-kata beliau dikala malam minggu dibawah
naungan atap Café Panas Dalam yang
melindungi kami dari butiran hujan. Cah ileh , kayak romantis saja, kisah sesungguhnya
akan membuat pilu loh. Tapi saya skip
bagian itu.
Berhubung
orang ini suka membaca dan menulis juga, otomatis inspirasinya tidak jauh dari
dua hal ini. Saya mengomentari tulisan dia yang begitu dalam menyentuh perasaan
(wkakakak) padahal dia mengaku tulisan itu tidak dibuat berdasarkan perasaan
yang dialaminya saat menulis. Jawaban dia secara sederhana kurang lebih seperti
ini:
“Kalau gw nulis berdasarkan perasaan berarti
gw belum jadi seorang penulis. Tapi, menjadi tukang curhat”
Mungkin
kalimatnya tidak sama persis, tapi esensinya tetap begitu kok. Kalimat dia
sederhana. Namun, membuat saya berpikir. Wah asem, saya masih jadi tukang
curhat sepertinya. hehehe Maklum, banyak tulisan masih berdasarkan rasa yang
ada di hati.
Secara professional
kalimat itu ada benarnya. Dan memang masuk dinalar. Untuk penulis professional yang
memang mengandalkan kreatifitas di kepalanya, tidak peduli suasana hatinya
apakah sedang gundah-gelisah atau bahagia. Tulisannya tetap mampu membuat
pembaca hanyut kedalam alur tulisan.
Ya, seperti
itulah sebagian penulis besar dunia.
Tapi, bagi
saya yang belum menjadi penulis besar (siapa tahu kesampaian- tapi tetap saya lebih
ingin menjadi pria besar yang mengisi hati “dia”
kok, hehehe). Menjadi penulis atau pencurhat tidak jadi masalah. Soalnya
begini. Tulisan yang masih memperlihatkan ekspresi hati kita, atau pun memang
tulisan itu adalah curahan hati kita tetap
masih bisa bermanfaat bagi orang lain. Lihatlah tulisan-tulisan yang berasal
dari kegelisahan hati penulisnya yang mampu mengubah lingkungan sekitar. Contohnya
tulisan seputar kesetaraan hak memperoleh pendidikan untuk wanita oleh R.A Kartini
yang akhirnya berkontribusi kapada pendidikan di Indonesia. Ataupun para pelaku
standup comedy yang banyak menulis
kegelisahan mereka kemudian menghibur diatas panggung sambil berdiri (standup) hehehe.
Kalimat
sahabat saya yang satu ini tidak salah. Namun, untuk kita yang sedang belajar.
Tidak perlu takut untuk menjadi pencurhat. Selama tulisan curhatan itu bisa
bermanfaat bagi orang lain, kenapa tidak. Ya memang hitung-hitung latihan juga
sih. Tapi, malam itu saya jadi sadar. Untuk menjadi professional suatu saat
kita tetap harus mengkontrol rasa kita saat menulis. Seperti kita mengkontrol
prilaku dihadapan dia yang kita kejar. #BaPer.
Untuk yang
penasaran dengan tulisan sahabat saya silahkan ke http://faqihahmadmuzakky.blogspot.co.id/
. Tapi, awas jangan baper membacanya. Hahaha.
*sumber gambar: kitamuda.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar