TERIMA KASIH AKAN PELITA
Dua hari yang lalu ketika mendownload telegram (aplikasi
komunikasi semacam WA, Line dan lainnya). Tiba-tiba muncul pesan pertama dalam
aplikasi tersebut. Kaget memang kok aplikasi yang baru di download langsung ada
pesan masuk. Namun, yang mengagetkan adalah pesan yang masuk pertama itu
berasal dari guru yang banyak mengajarkan makna kehidupan kepada saya. Beliau
bukan Nabi palsu, tapi seorang penyampai bait-bait yang dibawa Nabi.
Banyak tulisan saya dalam blog ini terinspirasi dari
interaksi bersama beliau. Nama beliau juga telah tertera secara eksplisit dalam
blog ini. Kini saya sedang berbeda pulau dengan beliau. Namun, nilai yang
beliau sampaikan tetap terkenang di naungan kedua telinga.
Secara pribadi setahun ini sudah hampir tidak pernah komunikasi
dengan beliau. Bukan lupa. Saya masih ingat tanggal pernikahan beliau yang
bertepatan hari besar kendaraan penyampai risalah yang beliau pilih. Saya masih
sering mendengar nama beliau diperbincangkan. Namun, ego dan malu masih
menghantui pribadi yang banyak diajari beliau.
Sejak kelas satu SMA saya mulai mengenal dan belajar dari
beliau. Kalau bisa dibilang dari siswa kuper otak pas-pasan menjelma menjadi
siswa ……………
JRENG!
JRENG!
JRENG!
( menjadi siswa biasa juga sih, hehhehe).
Tenang beliau bukan penyihir yang bisa tiba-tiba merubah
seseorang menjadi super, hehehehe. Ilmu mendasar yang diajari beliau adalah
KESADARAN. Tidak penting dalam beragama, bersosial, atau belajar sesuai
tuntutan lingkungan yang ada. Tapi yang terpenting adalah SADAR dulu akan agama,
sosial dan proses pembelajaran apa yang kita jalani.
Kalau sadar, agama itu kita yang butuh, bukan Tuhan. Kalau
sadar, hidup itu lebih mudah bersama, bukan sendiri. Kalau sadar, belajar itu
jalan menaklukan dunia, bukan kewajiban formalitas. Maka, kita akan beragama
dengan sungguh-sungguh, bersosial dengan tulus dan belajar dengan semangat.
SADAR itu jauh lebih penting dari pada menjadi robot yang
pintar tanpa Tuhan atau zombie yang tidak punya teman.
Telegram itu belajar dari Ust.Faisal A. Sabaya seorang guru,
mentor sekaligus banyak dari kami yang belajar dari beliau memanggilnya Ayah.
Apalagi secara pribadi saya telah yatim sejak SD tentu banyak hal yang saya
dapat dari beliau.
Malu sebenarnya karena belum sempat membalas kebaikan
beliau. Banyak janji yang belum terpenuhi. Banyak kesempatan yang beliau
siapkan namun lalai dalam menghadapinya. Ternyata beliau juga belum melupakan
pribadi yang banyak mengecewakan beliau. Buktinya dalam pesan-pesan yang
dikirimkan masih tersimpan arahan nan baik dan indah.
Untuk kita yang sedang
berlari,
Mencari harap dalam
mimpi,
Sekuat apa kita,
Dalam pasungan horizon?
Lupakah kita,
Bahwa asa dan mimpi itu
digambarkan orang lain?
Lupakah kita,
Cara berlari itu ditunjukan
orang lain?
Dia adalah pencetus pelita
dalam gelap,
Harap dalam cemas,
Ilmu dikalah gunda,
Semangat ketika lelah.
Orang lain itu adalah…
Guru…
Tak meminta asa dunia pribadi,
Namun asa untuk harap umat.
(Wahyu Repi)
ALBAB I angkatan VII 2011 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar